Rabu, 29 April 2015

Makalah Admnistrasi Pembanggunan



TUGAS MAKALAH
ADMINISTRASI PEMBANGGUNAN

DISUSUN OLEH

Mus Mulyady       1301120713

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2015




DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR   ………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI                  …………………………………………………………...        iii
PENDAHULUAN          …………………………………………………………...        1
1.1. Latar Belakang         …………………………………………………………..         1
1.2. Tujuan                      …………………………………………………………...        4
1.3. Metode Penulisan     …………………………………………………………...        4
PEMBAHASAN            …………………………………………………………...        5
2.2. Meningkatkan Kualitas Manusia Dalam Birokrasi
       Pembangunan           ……………………………………………………………       13
2.3. Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Organisasi          ……………………….        16 
PENUTUP                      …………………………………………………………….      18
3.1. Kesimpulan              …………………………………………………………….      18
3.2. Saran                       …………………………………………………………….      22
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang

Mulai akhir abad ke-19, sudah muncul adanya kesadaran mengenai pola hubungan antara rakyat biasa dan priyayi atau antara pangreh praja dengan Binnenlandsch Besturr (BB) yang lebih baik, dengan lebih memfungsikan pejabat sebagai pemimpin rakyat Pemuda pribumi pada akhir abad ke-19 tersebut sudah mulai mendapat pendidikan ala Eropa yang memadai, seperti Diperbolehkannya kaum pribumi sekolah di ELS, HBS, dan sebagainya. Tujuan kolonial Belanda dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan ala Eropa adalah agar mulai lebih dapat membantu kepentingan Belanda dalam penjajahan di Indonesia di mana pada akhirnya malah memusingkan Hindia Belanda sendiri.
Pada masa kolonial Belanda, tidak terjadi perubahan-perubahan sistem dan struktur kekuasaan patrimonial.  Pemerintah kolonial mengangkat pejabat-pejabat sendiri, sebagian daerah sepenuhnya di tangan pemerintah kolonial dan sebagian lainnya dalam pemerintahan ganda, yang selain pengangkatan pejabat birokrasi kolonial juga ada birokrasi tradisional.  Pada umumnya orang-orang peribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial disebut priyayi.  Pemerintah kolonial membentuk birokrasi untuk eksploitasi dan penguasaan politik, sehingga kedudukan birokrasi kolonial tidak lebih dari kepanjangan tangan kekuasaan kolonial.  Priyayi  sebagai  ambtenaar mempunyai kekuasaan dan mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat.   Keberlanjutan konsep kenegaraan dan kekuasaan itu juga mempengaruhi kedudukan priyayi sebagai penyelenggara kekuasaan.   Mereka seolah tidak menjadi bagian dari masyarakat umum, tetapi merupakan bagian dan sebagai kepanjangan tangan kekusaan kolonial Belanda.  Realita ini jika dikaitkan dengan struktur masyarakat Jawa yang dikhotomis, maka birokrasi pada ambtenaar secara sosiologis termasuk dalam golongan para penggedhe yang dalam hubungan sosialnya cenderung di “tuan”kan oleh para kawulo yang  terdiri dari rakyat kebanyakan.  Dalam hubungan sosial seperti ini, secara tradisional kawulo tersebut cenderung patuh pada bendoro atau tuannya
Pada periode kemerdekaan, terjadi perubahan yang mendasar di mana pola perilaku birokrasi pemerintah dikritik karena dianggap tidak demokrasi atau feodalistik. Keinginan untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang sangat dihormati sudah mulaiberkurang.
Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya.
Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan
Menurut Weber demokrasi tidak sama dengan birokrasi di mana dalam birokrasi memerlukan persyaratan dalam pengangkatan seseorang/pejabat, sedangkan demokrasi mensyaratkan pemilihan seseorang/pejabat oleh banyak orang, tidak diangkat.
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Peran birokrasi dalam pembangunan merupakan bentuk kajian yang penting. Ada beberapa segi yang penting dalam praktek birokrasi yang berfungsi untuk menunjang pembangunan, yaitu adanya birokrasi sebagai alat integrasi nasional, birokrasi sebagai pelopor pembangunan dan birokrasi sebagai agen sosialisasi politik. Sebagai alat integrasi nasional, praktek birokrasi mempunyai peran yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu terdapat beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhi integrasi nasional. Ketiga peran di atas hanyalah sebagian kecil dari peran birokrasi yang beraneka ragam.
Pelaksanaan birokrasi berhubungan erat dengan perangkat pelaksananya, yaitu para administrator. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan garis-garis kebijakan birokrasi yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini bukan berarti mereka bebas menentukan kebijakan dengan sebesar-besarnya, tetapi mereka hendaknya berpegang pada segi etika yang merupakan pedoman bagi administrator untuk menjalankan roda pembangunan seoptimal mungkin berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam etika pembangunan
Birokrasi adalah media yang dapat berperan dalam pengembangan demokrasi, ia mampu menjembatani kebijakan administratif dari penguasa dengan aspirasi rakyat. Dalam praktek birokrasi dapat menimbulkan keadaan yang demokratis maupun anti demokrasi, tergantung kepada sifat keterbukaan atau ketertutupan birokrasi itu sendiri. Semakin terbuka birokrasi maka kadar demokrasi semakin meningkat, demikian sebaliknya
Pembinaan karier dalam birokrasi pemerintahan ditujukan guna menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, diperlukan pembinaan aparat birokrasi sebagai unsur aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa, bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya. Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, telah meletakkan landasan yang kokoh untuk mewujudkan pegawai negeri seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban, hak pembinaan pegawai negeri sebagai salah satu kebijaksanaan dan langkah usaha penyempurnaan Neagara di bidang pemerintahan.
Untuk mendorong prestasi pegawai negeri, mereka diberi penghargaan dalam bentuk kenaikan pangkat, penempatan pada jabatan tertentu dan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengalaman maupun kemampuan seorang pegawai negeri
Gejala umum yang terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah besarnya aparatur birokrasi tetapi kurang memiliki keahlian yang memadai, bekerja kurang produktif dan tidak efisien. Sebenarnya luasnya tugas birokrasi pada pemerintah sebagai hal yang wajar, hanya perlu diimbangi dengan kemampuan yang memadai dari aparatur birokrasi.
Dalam era globalisasi saat ini semua dituntut serba cepat, begitu pula dengan pelayan pemerintah kepada masyarakat. Sehingga diperlukan suatu sistem admnistrasi yang efektif dan efisien dalam pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang efektif dan efisien tersebut tentunya tidak hanya ditunjang oleh perkembangan teknologi yang ada saat ini tetapi factor kualitas sumber daya manusia juga berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan. Karena tanpa didukungnya kualitas sumber daya manusia yang maju, teknologi-teknologi yang digunakan dalam pelayanan masyarakat akan kurang atau bahkan tidak befungsi secara baik yang secara langsung mengakibatkan tidak efisien dan efektifnya pelayanan kepada masyarakat.




1.2.  Tujuan
Tujuan dari penulisan makaslah ini adalah sebagai bahan referensi bagi perkembangan birokrasi di Indonesia dalam kaitannya dengan admisistrasi pembangunan dan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dalam birokrasi pembangunan Indonesia

1.3.  Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dengan membaca buku-buku sebagai bahan referensi yang berkaitan dengan birokrasi pemmerintahan.























BAB II
PEMBAHASAN


2.2. Meningkatkan Kualitas Manusia dalam Birokrasi Pembangunan

Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pemerintah, khususnya sistem administrasinya, pada akhirnya merupakan salah satu faktor penentu yang utama yang akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan kualitas manusia. Para kritikus birokrasi pada umumnya masih sepakat bahwa peranan birokrasi dalam pembangunan nasional tidak mungkin dapat digantikan sepenuhnya oleh lembaga swasta (Mathur, 1986:9). Namun, di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sistem administrasi pembangunan menghadapi banyak hambatan yang amat mempengaruhi kemampuan sistem tersebut buat melaksanakan pembangunan kualitas manusia secara baik dan dengan amat memperhatikan martabat manusia.
Secara garis besar hambatan-hambatan pada birokrasi pembangunan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: hamba-tan proses dan hambatan orientasi (Saxena, 1986:49). Hambatan proses mencakup baik aspek struktur dan prosedur. Hingga kini struktur organisasi modern tetap dipandang sebagai model birokrasi yang tepat buat melaksanakan pembangunan. Oleh para ahli sering kekurang berhasilan yang terjadi di banyak negeri dihubungkan dengan bentuk birokrasi ini. Tetapi, yang menyebabkan model tersebut kurang berhasil bukanlah bentuknya itu tetapi adalah karena adanya nilai-nilai dan struktur organisasi yang tradisional yang menyebabkan tumbuhnya distorsi bentuk organisasi modern menjadi sistem yang patrimonial. Pada sistem ini prinsip-prinsip nepotisme dan partikularistik berlaku. Kalau pada sistem ekonomi kita mengenal adanya dualisme antara ekonomi tradisional-agraris dan ekonomi modern-industrial, maka dalam sistem adminis-trasi kita dikenal adanya dualisme antara sistem adminis-trasi tradisional yang menekankan ritualisme administratif yang tidak efisien dan sistem administrasi modern yang menekankan rasionalisme administratif yang efisien (Riggs, 1957:59). Dualisme administratif ini yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan budaya pelayan publik dalam birokrasi kita merupakan salah satu sebab kekurang-mampuan administrasi pembangunan Indonesia.
Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hirarkis dan legalistis, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar yang amat diperlukan dalam penyelenggaraan program pembangunan menjadi terhambat, dan dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih parah adalah prosedur yang mencekik ini ditumpangi lagi oleh kepentingan pribadi dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi mau pun kelompok.
Peranan birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan da-lam pengelolaan program pembangunan selama 25 tahun ini telah menimbulkan mental penguasa yang amat kuat di kala-ngan pejabat birokrasi dan ini menjadi penghambat yang cukup besar dalam upaya penciptakan aparatur pemerintahan yang terbuka dan mampu menggalang partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam birokrasi seperti itu prestasi seorang pejabat bawahan akan diukur dari kemampuannya mencapai target-target yang telah ditentukan dan oleh "kepuasan" atasan terhadap prestasi bawahan tadi. Karena itu sifat yang paling menonjol adalah semangat untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan serta kurang mementingkan perubahan dan kemajuan yang identik dengan pembangunan. Dengan kata lain, tumbuhlah dengan subur etos kerja status quo yang mendorong para pejabat untuk lebih mempertahankan keharmonisan dalam segala hal.
Perubahan-perubahan pada birokrasi pemerintah itu sen-diri sebenarnya tidak akan terjadi terlepas dari kondisi lingkungannya. Karena itu dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini diperlukan suatu persyaratan mutlak yakni kemungkinan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kapasitasnya (Bryant dan White, Ibid; dan Korten dan Klaus, Ibid). Partisipasi masyarakat ini akan memungkinkan mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pembangunan. Partisipasi ini juga akan memungkinkan masuknya informasi yang lebih banyak dari lapangan yang berguna bagi penentuan strategi pembangunan yang lebih tepat. Dukungan masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaan program pembangunan pun akan dapat digerakkan dengan parptisipasi. Disamping itu partisipasi masyarakat dalam pengawasan akan memungkinkan pengawasan yang lebih effektif.
Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat birokrasi peme-rintah yang stabil-mekanistis tidak mungkin dihilangkan secara keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis-adaptif (Saxena, Ibid; dan Bennis, 1969), yaitu organisasi yang selalu tumbuh dan menyesuaikan diri dengan tujuan yang hendak dicapai dan dengan dinamika lingkungannya, yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta yang mampu melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organis-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang lebih longgar dan terbuka terhadap pengaruh positif dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan menjadi lebih lebar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk keterlibatan dari bawah (bottom-up) mau pun dari atas (top-down).
Selain struktur organisasi yang organis-adaptif, dalam pengembangan partisipasi ini perlu diadakan distribusi kekuasaan dan sumberdaya. Dengan kata lain, suatu peringkat desentralisasi yang memadai adalah prasyarat lain yang diperlukan buat pelaksanaan pembangunan kualitas manusia agarberhasil. Dalam hal ini ada perbedaan yang jelas antara pem-bangunan dan nation-building. Dalam nation-building memang diperlukan sentralisasi kekuasaan. Bagi Indonesia, tahap ini sudah dapat kita lewati dengan berhasil. Dalam tahap pem-bangunan untuk meningkatkan kualitas manusia dan kualitas masyarakat, sentralisasi yang berlebih-lebihan ini harus segera ditinggalkan untuk diganti dengan desentralisasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, dan menga-wasi pembangunan.
Untuk melaksanakan pembangunan seperti ini diperlukan desentralisasi sebanyak mungkin urusan kepada daerah. Hanya daerah yang tahu secara lebih baik aspirasi daerah serta dapat menilai apa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang mereka miliki serta untuk apa kekayaan tersebut akan digunakan. Karena itu hambatan paling besar dalam pelaksa-naan kebijaksanaan semacam itu adalah sentralisasi yang amat besar dalam sistem administrasi kita.
Hambatan yang ketiga adalah karena kelemahan yang ter-kandung dalam sistem politik kita yang kurang mampu mengem-bangkan pengawasan oleh DPR dan DPRD. Salah satu sebab utama kekurang berhasilan pembangunan di negara sosialis dan Dunia Ketiga menurut kajian yang diadakan oleh Institute of Devel-opment Studies, Universitas Sussex, adalah karena lemahnya sistem pengawasan demokratis di negara-negara ini. Sampai saat ini DPR dan DPRD, dengan berbagai cara, masih diperla-kukan sebagai kepanjangan dari lembaga eksekutif. Karena itu tidak ada kekuatan politik yang berarti yang mengontrol lem-baga eksekutif. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik, karena amat sukar membedakan antara birokrasi dengan Golkar sebagai kekuatan politik yang sedang berkuasa, telah memper-buruk keadaan ini dan telah amat melemahkan efektivitas pe-ngawasan terhadap lembaga eksekutif.
2.3. Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Organisasi

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kemampuan administrasi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan martabat manusia tidak mungkin dapat ditingkat-kan tanpa peningkatan kualitas manusia dalam birokrasi pembangunan itu sendiri. Kualitas yang diperlukan oleh petugas birokrasi pembangunan itu antara lain mencakup ketaatan pada prinsip-prinsip moral dan agama yang tinggi, rasa kesetiaka-wanan sosial dalam hubungan sebagai pejabat dan masyarakat, rasionalitas sebagai pejabat yang merupakan individu organisasi dan institusi yang lebih mementingkan tujuan organisasi daripada tujuan individu serta tingkat kemandirian yang juga tinggi. Karena itu perlu didukung upaya yang sedang dirintis oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk me-ningkatkan kualitas aparat dalam birokrasi seperti yang dilontarkan beberapa waktu yang lalu pada Seminar Nasional Pembangunan Kualitas Manusia dalam Era Tinggal Landas di Universitas Widya Mataram, Yogyakarta (Kusumaatmadja, 1990).
Ada beberapa pilihan upaya yang dapat ditempuh oleh para perumus kebijaksanaan kita, khususnya dalam bidang pem-bangunan administrasi. Semua upaya ini dilandasi oleh suatu asumsi bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini organisasi modern adalah satu-satunya wadah implementasi yang tersedia sampai saat ini. Dalam upaya untuk menghasilkan organisasi yang memiliki effisiensi dan otonomi yang diperlukan buat melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan martabat manusia, disadari bahwa hirarhi yang terlalu panjang dan compartmentalized akana menghasilkan ke-kakuan dan subordinasi yang berlebihan. Karena itu inti dari upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dalam birokrasi pembangunan meliputi upaya meningkatkan produktivitas mereka melalui sistem insentif, baik finansial dan non-finansial, yang lebih baik, serta merubah tata nilai serta lingkungan birokrasi melalui:
1.      Pelatihan Tehnis dan Moral
Sudah disinggung di atas bahwa birokrasi kita belum di- landasi oleh budaya pelayanan publik serta ra-sionalitas organisasi yang memadai. Karena itu program pelatihan yang tepat untuk menanamkan budaya tersebut serta rasionalitas sebagai manusia organisasi dan manusia institusi haruslah mendapatkan penekanan dalam upaya reformasi administrasi di Indonesia. Program pelatihan yang baik dan tepat tidak akan dapat digantikan oleh upaya restrukturisasi bentuk organi-sasi yang telah ditempuh selama ini.
2.       Desentralisasi dan Reintegrasi
Pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat amat memerlukan desentralisasi kewenangan kepada daerah dan kepada masyarakat. Hanya daerah yang tahu dengan lebih baik potensi yang dimilikinya serta bagaimana menggunakan potensi tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Hambatan-hambatan antar kantor dan dinas di pusat dan di daerah perlu dikurangi dengan mengadakan reintegrasi tugas-tugas oleh berbagai kantor tadi. Pembicaraan mengenai reintegrasi ini sudah pernah dilontarkan oleh Menteri Rudini beberapa waktu yang lalu sehubungan dengan pengaturan kembali tugas kantor-kantor perwakilan Departemen di daerah atau oleh Menteri Sarwono sehubungan dengan perampingan birokrasi.
3.       Demokratisasi
Studi-studi yang diadakan oleh para sarjana adminis-trasi semakin menunjukkan bahwa kinerja sistem administrasi yang kurang memuaskan di negara selalu lebih menonjol di negara yang tidak demokratis. Dengan kata lain, tanpa pengawasan politik yang effektif birokrasi pembangunan cenderung untuk kurang berprestasi. Karena itu, sejalan dengan upaya reformasi administrasi, harus diadakan transformasi politik untuk menciptakan pengawasan demokratis yang efektif terhadap birokrasi. Transformasi ini harus lebih luas dari transformasi yang kita kenal selama ini yang bertujuan untuk memperbaiki accountability dan partisipasi. Yang diperlukan adalah pemberian keleluasaan kepada masyarakat untuk mengembangkan basis-basis organisasi sosial yang bebas dalam suatu masyarakat sipil (civil society).




























BAB II
PENUTUP

3.1. Kesimpulan


Berbagai upaya reformasi birokrasi yang telah dilakukan melalui kegiatan yang rasional dan realistis masih memerlukan berbagai penyempurnaan. Hal tersebut terkait dengan banyaknya permasalahan yang belum sepenuhnya teratasi. Dari sisi internal, berbagai sektor seperti demiokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan dan upaya mencari solusi ke depan. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi teknologi juga berpengaruh kuat terhadap pencarian-pencarian alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara.

3.2. Saran

Karena birokrasi ditempatkan pada posisi yang dominan maka lembaga lain diluar birokrasi menjadi lemah. Dalam posisi yang demikian birokrasi menjadi tidak fungsional dalam melayani masyarakat. Agar fungsi birokrasi sebagai “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat, birokrasi seharusnya berada dalam posisi netral. Kalaupun posisi ini tidak dapat sepenuhnya dicapai, namun birokrasi semestinya mempunyai kemandirian sebagai lembaga yang tetap tegak membela kepentingan umum. Lebih meningkatkan diri sebagai “abdi masyarkat” dari pada sebagai “abdi Negara” atau setidaknya ada keseimbangan diantara keduanya.








DAFTAR PUSTAKA




Abdullah, Syukur. “Birokrasi dan Pembangunan Nasional”: Studi tentang Peranan Birokrasi Lokal dalam Implementasi Program-program Pembangunan di Sulawesi Selatan. Disertasi Universitas Hasanuddin, 1985.
Effendi, S.”Debirokratisasi dan Deregulasi: Meningkatkan Kemampuan Administrasi Untuk Melaksanakan Pembangunan”. Makalah pada Seminar DAAD-UGM, Yogyakarta, 19 Desember 1987.
___________, "Pelayanan Publik, Pemerataan, dan Administrasi Negara Baru," Prisma, XV:12, 1986.
___________, Debirokratisasi dan Deregulasi: Meningkatkan Kemampuan Administrasi untuk Melaksanakan Pembangunan Nasional. Makalah pada Seminar UGM-DAAD di Yogyakarta, 19 Desember 1987.
___________, Birokrasi, Pembangunan Kualitas Manusia dan Produktivitas Nasional. Makalah pada Seminar Kualitas Manusia dan Produktivitas Nasional diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis ke 38 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 17 Desember 1987.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar