TUGAS MAKALAH
ADMINISTRASI PEMBANGGUNAN
DISUSUN OLEH
Mus Mulyady 1301120713
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2015
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ………………………………………………………….. ii
DAFTAR
ISI
…………………………………………………………... iii
PENDAHULUAN
…………………………………………………………... 1
1.1.
Latar Belakang
………………………………………………………….. 1
1.2.
Tujuan
…………………………………………………………... 4
1.3.
Metode Penulisan …………………………………………………………...
4
PEMBAHASAN
…………………………………………………………... 5
2.2.
Meningkatkan Kualitas Manusia Dalam Birokrasi
Pembangunan ……………………………………………………………
13
2.3.
Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Organisasi
………………………. 16
PENUTUP
……………………………………………………………. 18
3.1.
Kesimpulan
……………………………………………………………. 18
3.2.
Saran
……………………………………………………………. 22
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Mulai akhir abad ke-19, sudah muncul adanya kesadaran
mengenai pola hubungan antara rakyat biasa dan priyayi atau antara pangreh
praja dengan Binnenlandsch Besturr (BB) yang lebih baik, dengan lebih
memfungsikan pejabat sebagai pemimpin rakyat Pemuda pribumi pada akhir abad
ke-19 tersebut sudah mulai mendapat pendidikan ala Eropa yang memadai, seperti
Diperbolehkannya kaum pribumi sekolah di ELS, HBS, dan sebagainya. Tujuan
kolonial Belanda dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk
mendapatkan pendidikan ala Eropa adalah agar mulai lebih dapat membantu
kepentingan Belanda dalam penjajahan di Indonesia di mana pada akhirnya malah
memusingkan Hindia Belanda sendiri.
Pada masa kolonial Belanda, tidak terjadi
perubahan-perubahan sistem dan struktur kekuasaan patrimonial. Pemerintah
kolonial mengangkat pejabat-pejabat sendiri, sebagian daerah sepenuhnya di
tangan pemerintah kolonial dan sebagian lainnya dalam pemerintahan ganda, yang
selain pengangkatan pejabat birokrasi kolonial juga ada birokrasi tradisional.
Pada umumnya orang-orang peribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi
kolonial disebut priyayi. Pemerintah kolonial membentuk birokrasi untuk
eksploitasi dan penguasaan politik, sehingga kedudukan birokrasi kolonial tidak
lebih dari kepanjangan tangan kekuasaan kolonial. Priyayi
sebagai ambtenaar mempunyai kekuasaan dan mempunyai kedudukan kuat dalam
masyarakat. Keberlanjutan konsep kenegaraan dan kekuasaan itu juga
mempengaruhi kedudukan priyayi sebagai penyelenggara kekuasaan.
Mereka seolah tidak menjadi bagian dari masyarakat umum, tetapi merupakan
bagian dan sebagai kepanjangan tangan kekusaan kolonial Belanda. Realita
ini jika dikaitkan dengan struktur masyarakat Jawa yang dikhotomis, maka
birokrasi pada ambtenaar secara sosiologis termasuk dalam golongan para
penggedhe yang dalam hubungan sosialnya cenderung di “tuan”kan oleh para kawulo
yang terdiri dari rakyat kebanyakan. Dalam hubungan sosial seperti
ini, secara tradisional kawulo tersebut cenderung patuh pada bendoro atau tuannya
Pada periode kemerdekaan, terjadi perubahan yang mendasar di
mana pola perilaku birokrasi pemerintah dikritik karena dianggap tidak
demokrasi atau feodalistik. Keinginan untuk menduduki jabatan dalam birokrasi
pemerintah sebagai sesuatu yang sangat dihormati sudah mulaiberkurang.
Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya.
Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan
Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya.
Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan
Menurut Weber demokrasi tidak sama dengan birokrasi di mana
dalam birokrasi memerlukan persyaratan dalam pengangkatan seseorang/pejabat,
sedangkan demokrasi mensyaratkan pemilihan seseorang/pejabat oleh banyak orang,
tidak diangkat.
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Batas-batas lingkup sistem-sistem otoritas umumnya dan demokrasi khususnya dikelompokkan menjadi 5, yaitu kolegialitas, pemisahan kekuasaan, administrasi amatir, demokrasi langsung, dan representasi (perwakilan).
Peran birokrasi dalam pembangunan merupakan bentuk kajian
yang penting. Ada beberapa segi yang penting dalam praktek birokrasi yang
berfungsi untuk menunjang pembangunan, yaitu adanya birokrasi sebagai alat
integrasi nasional, birokrasi sebagai pelopor pembangunan dan birokrasi sebagai
agen sosialisasi politik. Sebagai alat integrasi nasional, praktek birokrasi
mempunyai peran yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Selain
itu terdapat beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhi integrasi
nasional. Ketiga peran di atas hanyalah sebagian kecil dari peran birokrasi yang
beraneka ragam.
Pelaksanaan birokrasi berhubungan erat dengan perangkat pelaksananya, yaitu para administrator. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan garis-garis kebijakan birokrasi yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini bukan berarti mereka bebas menentukan kebijakan dengan sebesar-besarnya, tetapi mereka hendaknya berpegang pada segi etika yang merupakan pedoman bagi administrator untuk menjalankan roda pembangunan seoptimal mungkin berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam etika pembangunan
Pelaksanaan birokrasi berhubungan erat dengan perangkat pelaksananya, yaitu para administrator. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan garis-garis kebijakan birokrasi yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini bukan berarti mereka bebas menentukan kebijakan dengan sebesar-besarnya, tetapi mereka hendaknya berpegang pada segi etika yang merupakan pedoman bagi administrator untuk menjalankan roda pembangunan seoptimal mungkin berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam etika pembangunan
Birokrasi adalah media yang dapat berperan dalam
pengembangan demokrasi, ia mampu menjembatani kebijakan administratif dari
penguasa dengan aspirasi rakyat. Dalam praktek birokrasi dapat menimbulkan keadaan
yang demokratis maupun anti demokrasi, tergantung kepada sifat keterbukaan atau
ketertutupan birokrasi itu sendiri. Semakin terbuka birokrasi maka kadar
demokrasi semakin meningkat, demikian sebaliknya
Pembinaan karier dalam birokrasi pemerintahan ditujukan guna
menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara
berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, diperlukan pembinaan aparat
birokrasi sebagai unsur aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan
kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa, bermutu
tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya. Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor
8 Tahun 1974, telah meletakkan landasan yang kokoh untuk mewujudkan pegawai
negeri seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban, hak
pembinaan pegawai negeri sebagai salah satu kebijaksanaan dan langkah usaha
penyempurnaan Neagara di bidang pemerintahan.
Untuk
mendorong prestasi pegawai negeri, mereka diberi penghargaan dalam bentuk
kenaikan pangkat, penempatan pada jabatan tertentu dan kesempatan belajar untuk
meningkatkan pengalaman maupun kemampuan seorang pegawai negeri
Gejala umum yang terjadi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia adalah besarnya aparatur birokrasi tetapi kurang memiliki
keahlian yang memadai, bekerja kurang produktif dan tidak efisien. Sebenarnya
luasnya tugas birokrasi pada pemerintah sebagai hal yang wajar, hanya perlu
diimbangi dengan kemampuan yang memadai dari aparatur birokrasi.
Dalam era globalisasi saat ini semua dituntut serba cepat,
begitu pula dengan pelayan pemerintah kepada masyarakat. Sehingga diperlukan
suatu sistem admnistrasi yang efektif dan efisien dalam pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan yang efektif dan efisien tersebut tentunya tidak hanya ditunjang oleh
perkembangan teknologi yang ada saat ini tetapi factor kualitas sumber daya
manusia juga berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan. Karena tanpa
didukungnya kualitas sumber daya manusia yang maju, teknologi-teknologi yang
digunakan dalam pelayanan masyarakat akan kurang atau bahkan tidak befungsi
secara baik yang secara langsung mengakibatkan tidak efisien dan efektifnya
pelayanan kepada masyarakat.
1.2.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makaslah ini adalah sebagai bahan
referensi bagi perkembangan birokrasi di Indonesia dalam kaitannya dengan
admisistrasi pembangunan dan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dalam
birokrasi pembangunan Indonesia
1.3.
Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode
studi kepustakaan dengan membaca buku-buku sebagai bahan referensi yang
berkaitan dengan birokrasi pemmerintahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.2. Meningkatkan Kualitas Manusia dalam Birokrasi Pembangunan
Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pemerintah,
khususnya sistem administrasinya, pada akhirnya merupakan salah satu faktor
penentu yang utama yang akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan
kualitas manusia. Para kritikus birokrasi pada umumnya masih sepakat bahwa
peranan birokrasi dalam pembangunan nasional tidak mungkin dapat digantikan
sepenuhnya oleh lembaga swasta (Mathur, 1986:9). Namun, di banyak negara
berkembang, termasuk Indonesia, sistem administrasi pembangunan menghadapi
banyak hambatan yang amat mempengaruhi kemampuan sistem tersebut buat
melaksanakan pembangunan kualitas manusia secara baik dan dengan amat
memperhatikan martabat manusia.
Secara garis besar hambatan-hambatan pada birokrasi pembangunan
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: hamba-tan proses dan hambatan orientasi
(Saxena, 1986:49). Hambatan proses mencakup baik aspek struktur dan prosedur.
Hingga kini struktur organisasi modern tetap dipandang sebagai model birokrasi
yang tepat buat melaksanakan pembangunan. Oleh para ahli sering kekurang
berhasilan yang terjadi di banyak negeri dihubungkan dengan bentuk birokrasi
ini. Tetapi, yang menyebabkan model tersebut kurang berhasil bukanlah bentuknya
itu tetapi adalah karena adanya nilai-nilai dan struktur organisasi yang
tradisional yang menyebabkan tumbuhnya distorsi bentuk organisasi modern
menjadi sistem yang patrimonial. Pada sistem ini prinsip-prinsip nepotisme dan
partikularistik berlaku. Kalau pada sistem ekonomi kita mengenal adanya
dualisme antara ekonomi tradisional-agraris dan ekonomi modern-industrial, maka
dalam sistem adminis-trasi kita dikenal adanya dualisme antara sistem
adminis-trasi tradisional yang menekankan ritualisme administratif yang tidak
efisien dan sistem administrasi modern yang menekankan rasionalisme
administratif yang efisien (Riggs, 1957:59). Dualisme administratif ini yang
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan budaya pelayan publik dalam birokrasi kita
merupakan salah satu sebab kekurang-mampuan administrasi pembangunan Indonesia.
Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan
pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hirarkis dan
legalistis, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk memenuhi tuntutan struktur
daripada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar yang amat
diperlukan dalam penyelenggaraan program pembangunan menjadi terhambat, dan
dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur
menjadi amat kaku dan
lamban. Yang lebih parah adalah prosedur yang mencekik ini ditumpangi lagi oleh kepentingan
pribadi dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi mau
pun kelompok.
Peranan
birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan da-lam pengelolaan program
pembangunan selama 25 tahun ini telah menimbulkan mental penguasa yang amat
kuat di kala-ngan pejabat birokrasi dan ini menjadi penghambat yang cukup besar
dalam upaya penciptakan aparatur pemerintahan yang terbuka dan mampu menggalang
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam birokrasi seperti itu prestasi
seorang pejabat bawahan akan diukur dari kemampuannya mencapai target-target
yang telah ditentukan dan oleh "kepuasan" atasan terhadap prestasi
bawahan tadi. Karena itu sifat yang paling menonjol adalah semangat untuk
menjaga keseimbangan dan keselarasan serta kurang mementingkan perubahan dan
kemajuan yang identik dengan pembangunan. Dengan kata lain, tumbuhlah dengan
subur etos kerja status quo yang mendorong para pejabat untuk lebih
mempertahankan keharmonisan dalam segala hal.
Perubahan-perubahan pada birokrasi pemerintah itu
sen-diri sebenarnya tidak akan terjadi terlepas dari kondisi lingkungannya.
Karena itu dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini diperlukan suatu
persyaratan mutlak yakni kemungkinan setiap anggota masyarakat untuk
berpartisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kapasitasnya (Bryant dan White,
Ibid; dan Korten dan Klaus, Ibid). Partisipasi masyarakat ini akan memungkinkan
mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam
pembangunan. Partisipasi ini juga akan memungkinkan masuknya informasi yang
lebih banyak dari lapangan yang berguna bagi penentuan strategi pembangunan
yang lebih tepat. Dukungan masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaan
program pembangunan pun akan dapat digerakkan dengan parptisipasi. Disamping
itu partisipasi masyarakat dalam pengawasan akan memungkinkan pengawasan yang
lebih effektif.
Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai
upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat birokrasi peme-rintah yang
stabil-mekanistis tidak mungkin dihilangkan secara keseluruhan. Sifat tersebut
hanya dapat dikurangi dan diganti dengan organisasi yang lebih bersifat
organis-adaptif (Saxena, Ibid; dan Bennis, 1969), yaitu organisasi yang selalu
tumbuh dan menyesuaikan diri dengan tujuan yang hendak dicapai dan dengan
dinamika lingkungannya, yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan
kapasitas, serta yang mampu melaksanakannya. Struktur birokrasi yang
organis-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang lebih longgar dan terbuka
terhadap pengaruh positif dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan menjadi
lebih lebar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk keterlibatan dari bawah
(bottom-up) mau pun dari atas (top-down).
Selain struktur organisasi yang organis-adaptif,
dalam pengembangan partisipasi ini perlu diadakan distribusi kekuasaan dan
sumberdaya. Dengan kata lain, suatu peringkat desentralisasi yang memadai
adalah prasyarat lain yang diperlukan buat pelaksanaan pembangunan kualitas
manusia agarberhasil. Dalam hal ini ada perbedaan yang jelas antara
pem-bangunan dan nation-building. Dalam nation-building memang diperlukan
sentralisasi kekuasaan. Bagi Indonesia, tahap ini sudah dapat kita lewati
dengan berhasil. Dalam tahap pem-bangunan untuk meningkatkan kualitas manusia
dan kualitas masyarakat, sentralisasi yang berlebih-lebihan ini harus segera
ditinggalkan untuk diganti dengan desentralisasi, yakni pemberian kewenangan
yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan,
dan menga-wasi pembangunan.
Untuk melaksanakan pembangunan seperti ini diperlukan
desentralisasi sebanyak mungkin urusan kepada daerah. Hanya daerah yang tahu
secara lebih baik aspirasi daerah serta dapat menilai apa sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia yang mereka miliki serta untuk apa kekayaan tersebut akan
digunakan. Karena itu hambatan paling besar dalam pelaksa-naan kebijaksanaan
semacam itu adalah sentralisasi yang amat besar dalam sistem administrasi kita.
Hambatan
yang ketiga adalah karena kelemahan yang ter-kandung dalam sistem politik kita
yang kurang mampu mengem-bangkan pengawasan oleh DPR dan DPRD. Salah satu sebab
utama kekurang berhasilan pembangunan di negara sosialis dan Dunia Ketiga
menurut kajian yang diadakan oleh Institute of Devel-opment Studies,
Universitas Sussex, adalah karena lemahnya sistem pengawasan demokratis di
negara-negara ini. Sampai saat ini DPR dan DPRD, dengan berbagai cara, masih
diperla-kukan sebagai kepanjangan dari lembaga eksekutif. Karena itu tidak ada
kekuatan politik yang berarti yang mengontrol lem-baga eksekutif. Dominasi
birokrasi dalam kehidupan politik, karena amat sukar membedakan antara
birokrasi dengan Golkar sebagai kekuatan politik yang sedang berkuasa, telah
memper-buruk keadaan ini dan telah amat melemahkan efektivitas pe-ngawasan
terhadap lembaga eksekutif.
2.3. Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Organisasi
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kemampuan
administrasi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan martabat manusia tidak
mungkin dapat ditingkat-kan tanpa peningkatan kualitas manusia dalam birokrasi
pembangunan itu sendiri. Kualitas yang diperlukan oleh petugas birokrasi
pembangunan itu antara lain mencakup ketaatan pada prinsip-prinsip moral dan agama
yang tinggi, rasa kesetiaka-wanan sosial dalam hubungan sebagai pejabat dan
masyarakat, rasionalitas sebagai pejabat yang merupakan individu organisasi dan
institusi yang lebih mementingkan tujuan organisasi daripada tujuan individu
serta tingkat kemandirian yang juga tinggi. Karena itu perlu didukung upaya
yang sedang dirintis oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk
me-ningkatkan kualitas aparat dalam birokrasi seperti yang dilontarkan beberapa
waktu yang lalu pada Seminar Nasional Pembangunan Kualitas Manusia dalam Era
Tinggal Landas di Universitas Widya Mataram, Yogyakarta (Kusumaatmadja, 1990).
Ada beberapa pilihan upaya yang dapat ditempuh oleh para
perumus kebijaksanaan kita, khususnya dalam bidang pem-bangunan administrasi.
Semua upaya ini dilandasi oleh suatu asumsi bahwa dalam pelaksanaan pembangunan
kualitas manusia ini organisasi modern adalah satu-satunya wadah implementasi
yang tersedia sampai saat ini. Dalam upaya untuk menghasilkan organisasi yang
memiliki effisiensi dan otonomi yang diperlukan buat melaksanakan pembangunan
untuk meningkatkan martabat manusia, disadari bahwa hirarhi yang terlalu
panjang dan compartmentalized akana menghasilkan ke-kakuan dan subordinasi yang
berlebihan. Karena itu inti dari upaya untuk meningkatkan kualitas manusia
dalam birokrasi pembangunan meliputi upaya meningkatkan produktivitas mereka
melalui sistem insentif, baik finansial dan non-finansial, yang lebih baik,
serta merubah tata nilai serta lingkungan birokrasi melalui:
1.
Pelatihan Tehnis dan Moral
Sudah disinggung di atas bahwa birokrasi kita belum
di- landasi oleh budaya pelayanan publik serta ra-sionalitas organisasi yang
memadai. Karena itu program pelatihan yang tepat untuk menanamkan budaya tersebut serta rasionalitas
sebagai manusia organisasi dan manusia institusi haruslah mendapatkan penekanan
dalam upaya reformasi administrasi di Indonesia. Program pelatihan yang baik
dan tepat tidak akan dapat digantikan oleh upaya restrukturisasi bentuk
organi-sasi yang telah ditempuh selama ini.
2.
Desentralisasi dan Reintegrasi
Pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat amat
memerlukan desentralisasi kewenangan kepada daerah dan kepada masyarakat. Hanya
daerah yang tahu dengan lebih baik potensi yang dimilikinya serta bagaimana
menggunakan potensi tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Hambatan-hambatan antar kantor dan dinas di pusat dan di daerah perlu dikurangi
dengan mengadakan reintegrasi tugas-tugas oleh berbagai kantor tadi.
Pembicaraan mengenai reintegrasi ini sudah pernah dilontarkan oleh Menteri
Rudini beberapa waktu yang lalu sehubungan dengan pengaturan kembali tugas
kantor-kantor perwakilan Departemen di daerah atau oleh Menteri Sarwono
sehubungan dengan perampingan birokrasi.
3.
Demokratisasi
Studi-studi yang diadakan oleh para sarjana adminis-trasi
semakin menunjukkan bahwa kinerja sistem administrasi yang kurang memuaskan di
negara selalu lebih menonjol di negara yang tidak demokratis. Dengan kata lain,
tanpa pengawasan politik yang effektif birokrasi pembangunan cenderung untuk
kurang berprestasi. Karena itu, sejalan dengan upaya reformasi administrasi,
harus diadakan transformasi politik untuk menciptakan pengawasan demokratis
yang efektif terhadap birokrasi. Transformasi ini harus lebih luas dari
transformasi yang kita kenal selama ini yang bertujuan untuk memperbaiki
accountability dan partisipasi. Yang diperlukan adalah pemberian keleluasaan
kepada masyarakat untuk mengembangkan basis-basis organisasi sosial yang bebas
dalam suatu masyarakat sipil (civil society).
BAB II
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berbagai upaya reformasi
birokrasi yang telah dilakukan melalui kegiatan yang rasional dan realistis
masih memerlukan berbagai penyempurnaan. Hal tersebut terkait dengan banyaknya
permasalahan yang belum sepenuhnya teratasi. Dari sisi internal, berbagai
sektor seperti demiokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri,
berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan dan upaya mencari solusi ke depan.
Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi
informasi teknologi juga berpengaruh kuat terhadap pencarian-pencarian
alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara.
3.2.
Saran
Karena birokrasi ditempatkan pada posisi yang dominan maka
lembaga lain diluar birokrasi menjadi lemah. Dalam posisi yang demikian
birokrasi menjadi tidak fungsional dalam melayani masyarakat. Agar fungsi
birokrasi sebagai “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat,
birokrasi seharusnya berada dalam posisi netral. Kalaupun posisi ini tidak
dapat sepenuhnya dicapai, namun birokrasi semestinya mempunyai kemandirian
sebagai lembaga yang tetap tegak membela kepentingan umum. Lebih meningkatkan
diri sebagai “abdi masyarkat” dari pada sebagai “abdi Negara” atau setidaknya
ada keseimbangan diantara keduanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Syukur. “Birokrasi dan Pembangunan Nasional”: Studi tentang Peranan Birokrasi
Lokal dalam Implementasi Program-program Pembangunan di Sulawesi Selatan.
Disertasi Universitas Hasanuddin, 1985.
Effendi,
S.”Debirokratisasi dan Deregulasi: Meningkatkan Kemampuan Administrasi Untuk
Melaksanakan Pembangunan”. Makalah pada Seminar DAAD-UGM, Yogyakarta, 19
Desember 1987.
___________,
"Pelayanan Publik, Pemerataan, dan Administrasi Negara Baru," Prisma,
XV:12, 1986.
___________,
Debirokratisasi dan Deregulasi: Meningkatkan Kemampuan Administrasi untuk
Melaksanakan Pembangunan Nasional. Makalah pada Seminar UGM-DAAD di Yogyakarta,
19 Desember 1987.
___________, Birokrasi, Pembangunan
Kualitas Manusia dan Produktivitas Nasional. Makalah pada Seminar Kualitas
Manusia dan Produktivitas Nasional diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis ke
38 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 17 Desember 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar