Kata
Pengantar
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Assalamu
Alaikum Wr.wb
Marilah kita panjatkan puji syukur atas kehadirat ALLah SWT,
sesungguhnya hanya berkat izinNya kami dapat menyelesaikan makalah kami ini,
kami menyadari bahwa makalah kami ini banyak terdapat kekurangannya oleh karena
itu, kami mengharapkan sumbangsi dari
semua pihak yang terkait baik berupa arahan dan masukan, kritik agar menjadi
batu loncatan buat kami untuk membuat makalah yang lebih baik, semoga dengan
adannya makalah ini mampu menjadi bahan diskusi yang aktif.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………….................. i
DAFTAR ISI……………………..……………………….................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG…………………….……………….................. 1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Formulasi Kebijakan............................................. 2
B. Tahap-tahap Formulasi
Kebijakan........................................... 3
C. Hal-hal yang Mempengaruhi Formulasi Kebijakan................. 8
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN……………………………..……………..................... 10
DAFTAR PUSTAKA……………………………….……….............. 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pelayanan pemerintah kepada
masyarakat pada hakekatnya idnetik dengan berbagai bentuk kebijakan yang
dikeluarkan oleh tiap Departemen atau Dinas di Daerah . Manifestasi dari
berbagai bentuk kebiajakn diatas itulah yang selanjutnya akan dirasakan secara
langsung ataupun tidak langsung oleh masyarakat.
Satu kebijakan yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan dalam kenyataanya tidak banyak menerima penolakan, dan
sebaliknya, manakala formulasi kebijakan yang dirumuskan tidak
merepresentasikan kebutuhan (rakyat banyak) serta kurang merespon ‘pasar',
jelas mendapat respon negative dari rakyat selaku pihak yang harus menerima
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut kita
dapat merumuskan beberapa masalah :
1.
Apa yang dimaksud formulasi
kebijakan ?
2.
Bagaimana cara merumuskan kebijakan
?
3.
Apa saja yang mempengaruhi formulasi
kebijakan ?
BAB II
FORMULASI KEBIJAKAN
A. Pengertian
Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan publik ialah langkah paling awal dalam
proses kebijakan publik secara keseluruhan.Oleh karenannya apa yang terjadi
pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang
dibuat pada masa yang akan datang.
Menurut Anderson (Dalam Winarno, 2007 : 93) formulasi
kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif
disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang
berpartisipasi.
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan
publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi
kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah
selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai
tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan
tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2).
Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa folicy formulation
sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan
berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah
selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh
tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik), Udoji (Wahab ; 2001, 17) merumuskan bahwa
pembuatan kebijakan negara sebagai “The whole process of articulating and
defining problems, formulating possible solutions into political demands,
channelling those demands into the political systems, seeking sanctions or
legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation,
monitoring and review (feedback)”.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus
berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap
berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap
pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak
linear.
B.
Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno
(1989, 53), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama
adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan
kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu
alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil
dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada
bagaimana keputusan-keputusan kebijakan
dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh
seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak
suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka
Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam tahap
perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan
usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian
kebijakan.
1) Perumusan
masalah kebijakan
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan
situasi tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal
itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya
saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat
keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan
jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi
problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu
masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political
will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi, problem tersebut
ditanggapi positif oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan
problem umum itu menjadi problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda
pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama
yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan
problem yang akan dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya
terhadap problem tersebut. Kegiatan ini
merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih
dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan
mempermudah dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan.
2) Penyusunan
agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu
banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan
problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan
secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai
sifat yang khas, lebih kongkrit dan
terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang
dapat menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah,
yakni :
·
Apabila terdapat ancaman terhadap
keseimbangan antar kelompok (group equlibirium), dimana kelompok-kelompok
tersebut mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil
prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
·
Kepemimpinan politik dapat pula
menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah, manakala
para pemimpin politik didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau
keterlibatannya untuk memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu
memperhatikan problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha
pemecahannya.
·
Timbulnya krisis atau peristiwa yang
luar biasa dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat, sehingga memaksa
para pembuat keputusan untuk memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa
atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah.
·
Adanya gerakan-gerakan protes
termasuk tindakan kekerasan, sehingga menarik perhatian para pembuat keputusan
untuk memasukkannya ke dalam agenda pemerintah.
·
Masalah-masalah khusus atau isu-isu
politis yang timbul dalam masyarakat, sehingga menarik perhatian media massa
dan menjadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu
tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan
para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isu tersebut.
3) Perumusan
Usulan Kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan
serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
·
Identifikasi alternatif dilakukan
untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem yang hampir sama atau
mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan
tetapi terhadap problem yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut
untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru
sehingga masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian
identifikasi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan
mempermudah proses perumusan alternatif.
·
Mendefinisikan dan merumuskan
alternatif, bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh
pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu
diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan
mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif
tersebut.
·
Menilai alternatif, yakni kegiatan
pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif
mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga dengan
mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat
keputusan dapat memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk
dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai
alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang
relevan.
·
Memilih alternatif yang memuaskan.
Proses pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk
dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam
melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah
dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah
diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap
pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif,
dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai
dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan
terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai
konsekwensi dari pilihannya.
4) Pengesahan
Kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan
merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap
prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized principles
or accepted standards). Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah
variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara,
sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan
kegiatan persuasion dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan
sebagai “Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau
nilai kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik
sendiri”. Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana dua
orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan
setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat
merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak
terlalu ideal bagi mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah
perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan
kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling
melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat
memperlancar proses pengesahan kebijakan.
C.
Hal-Hal yang Mempengaruhi Proses Formulasi Kebijakan
Menurut Nigro and Nigro (Islamy;
1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan
adalah :
a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari
luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama
“rationale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan
harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan
penilaian rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak
dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut
berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal,
sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan
selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai
sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang
telah ada dipandang memuaskan.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan
banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan
atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat
keputusan berperan besar sekali.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat
berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan
mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar
proses formulasi kebijakan.
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu
berpengaruh pada pembuatan keputusan
atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat
keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan
karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada
orang lain akan disalahgunakan.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Masalah nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik,
merupakan aspek metapolicy karena menyangkut substansi, perspektif, sikap dan
perilaku, baik yang tersembunyi ataupun yang dinyatakan secara terbuka oleh
para actor yang bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan publik. Masalah
nilai menjadi relevan untuk dibahas karena ada satu anggapan yang mengatakan
bahwa idealnya pembuat kebijakan itu seharusnya memiliki kearifan sebagai
seorang filsuf raja, yang mampu membuat serta mengimplementasikan
kebijakan-kebijakannya secara adil sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan
umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Meskipun demikian, realita menunjukkan
bahwa kebanyakan keputusan-keputusan kebijakan tidak mampu memaksimasi ketiga
nilai tersebut di atas. Juga, tidak ada bukti pendukung yang cukup meyakinkan
bahwa nilai yang satu lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, maka
keputusan-keputusan kebijakan mau tidak mau haruslah memperhitungkan
multi-nilai (multiple values). Kesadaran akan pentingnya multiple values itu
dilandasi oleh pemikiran “ethical pluralism”, yang dalam teori pengambilan
keputusan sering disebut dengan istilah “multi objective decision making”.
Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa para pembuat kebijakan
idealnya memperhatikan semua dampak, baik positif maupun negatif dari tindakan
mereka, tidak saja bagi para warga unit geopolitik mereka, tetapi juga warga
yang lain, dan bahkan generasi di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
proses pembuatan kebijakan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan
interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi
professional, para administrator dan para politisi.
DAFTAR
PUSTAKA
AG.Subarsono.
2005. Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budi, Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses.
Yogyakarta: Media Pressindo.